Dampak Serius
Dengan kemajuan peradaban manusia, teknologi sonar banyak digunakan untuk navigasi, penangkapan ikan, dan eksplorasi geologi laut.
Demikian pula, mesin-mesin digunakan untuk eksplorasi minyak dan gas di bawah air, mirip dengan mesin-mesin yang digunakan di daratan dalam aktivitas konstruksi.
Namun, mesin-mesin ini yang beroperasi di lautan menghasilkan berbagai frekuensi dan tingkat kebisingan, yang mengakibatkan polusi suara yang signifikan di perairan laut. Dampak suara ini terhadap kehidupan laut sangat besar, memengaruhi perilaku hewan-hewan laut secara signifikan. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dalam pola berenang dan menyelam, modifikasi dalam karakteristik vokalisasi seperti volume serta ritme, dan bahkan tabrakan fatal ketika hewan tidak dapat menghindari hambatan yang tiba-tiba.
Sebagai contoh, paus beluga, yang dikenal dengan kemampuan vokalnya yang luar biasa, sangat sensitif terhadap polusi suara. Ketika kapal beroperasi dalam jarak 50 kilometer, paus beluga menunjukkan reaksi tertentu seperti berenang menjauh, meloncat keluar dari air untuk bernapas, dan mengubah pola penyelaman mereka. Seiring berjalannya waktu, gangguan ini dapat menyebabkan penurunan populasi dan perubahan dalam vokalisasi mereka, yang mungkin menjadi lebih tinggi. Para ilmuwan menghubungkan perilaku ini dengan kebisingan sonar yang mengganggu kemampuan paus dan lumba-lumba menggunakan suara untuk berburu serta menciptakan perasaan takut di antara beberapa jenis mamalia laut, terutama yang rentan terhadap lompatan keluar air.
Paparan suara juga memiliki dampak negatif terhadap pendengaran hewan-hewan laut. Suara dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan hilangnya pendengaran sementara atau penurunan sensitivitas pendengaran. Dalam kasus yang ekstrim, kerusakan pendengaran permanen atau penurunan sensitivitas dapat terjadi.
Penelitian yang dilakukan tentang efek mesin pengeboran tiang selama konstruksi pembangkit listrik tenaga angin di lepas pantai menunjukkan bahwa lumba-lumba moncong lebar yang berada dalam jarak 100 meter dari lokasi mengalami kerusakan pada organ pendengaran mereka, sementara lumba-lumba yang berada dalam jarak 50 kilometer menunjukkan perilaku yang bergejolak atau terpaksa menghindari daerah tersebut.
Selain itu, penelitian pada hewan-hewan cephalopoda yang terpapar suara frekuensi rendah (serupa dengan yang dihasilkan oleh eksplorasi minyak dan gas) telah mengungkapkan tingkat kerusakan yang berbeda. Otopsi yang dilakukan pada hewan-hewan ini mengungkapkan gangguan keseimbangan, termasuk hilangnya struktur rambut halus kecil dalam sel-sel. Pada akhir hidup mereka, hewan-hewan tersebut menunjukkan gerakan minimal, tidak lagi berenang atau makan.
Polusi suara juga dapat menyebabkan kematian biologis pada organisme laut. Sonar, khususnya, telah terkait dengan perubahan perilaku jangka panjang, hilangnya pendengaran, dan bahkan kematian. Penelitian telah menunjukkan hubungan yang kuat antara sonar dan kematian paus, termasuk penangkapan massal dan kematian akibat uji coba sonar frekuensi menengah.
Polusi suara laut memiliki konsekuensi yang luas dan rumit, memengaruhi berbagai aspek kehidupan laut. Suara yang tiba-tiba dapat mengejutkan hewan-hewan laut, menyebabkan mereka meninggalkan daerah yang biasanya mereka jelajahi untuk mencari makanan, yang pada akhirnya mengakibatkan masalah kelaparan. Selain itu, suara yang terus-menerus dan intens dapat membuat ikan lebih waspada, mengharuskan mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk berjaga-jaga terhadap potensi bahaya, yang mengurangi kemampuan mereka untuk makan dan merawat anak-anak mereka dengan baik. Dengan demikian, polusi suara laut bukan hanya mengganggu kehidupan hewan-hewan laut, tetapi juga berdampak negatif pada ekosistem laut secara keseluruhan.