Mengelola Rasa Lapar
Makan makanan berat sering kali meninggalkan rasa kenyang dan lesu, namun ternyata hal tersebut juga memicu respons fisiologis yang membuat Anda merasa lapar lebih cepat dari yang diharapkan.
Menariknya, ini bukan karena perut Anda "meregang", melainkan melibatkan interaksi yang kompleks antara hormon dan perilaku yang sudah dipelajari.
Rasa lapar sebenarnya berasal dari beberapa proses internal dalam tubuh. Meskipun perut memang berubah ukuran untuk menampung makanan dan membantu proses pencernaan, perut akan kembali ke kapasitas normalnya sekitar 1-2 liter setelah makan besar, berkat elastisitasnya. Bertentangan dengan kepercayaan yang beredar, tinggi badan atau berat badan Anda tidak secara signifikan mempengaruhi kapasitas perut. Sensasi lapar sebagian besar didorong oleh hormon seperti ghrelin, yang dilepaskan oleh perut saat kosong dan merangsang sinyal lapar di otak.
Ghrelin, bersama dengan neuropeptide Y (NPY) dan agouti-related peptide (AgRP) yang diproduksi oleh hipotalamus, berperan dalam memicu rasa lapar. Menariknya, individu dengan tubuh ramping seringkali memiliki kadar ghrelin yang lebih tinggi, sementara orang dengan obesitas cenderung memiliki kadar yang lebih rendah, yang mungkin terkait dengan kompleksitas metabolik dan hormonal.
Rasa kenyang melibatkan lebih dari selusin hormon yang bekerja bersama. Hormon-hormon seperti GIP dan GLP-1 merangsang produksi insulin untuk memetabolisme karbohidrat, sementara hormon lain memperlambat pergerakan makanan melalui perut untuk membantu pencernaan. Hormon-hormon penting seperti cholecystokinin (CCK) dan peptide YY (PYY) berperan dalam mengurangi nafsu makan. Misalnya, individu yang memiliki pita lambung (gastric band) seringkali menunjukkan kadar PYY yang lebih tinggi, yang berkontribusi pada berkurangnya rasa lapar.
Meskipun ada mekanisme hormon ini, pola makan yang terbiasa, serta petunjuk lingkungan seperti waktu makan, sering kali lebih mendominasi sinyal alami rasa kenyang. Ini adalah alasan mengapa rasa lapar bisa tetap muncul meskipun setelah makan siang yang besar, ketika waktu makan malam sudah mendekat.
Perilaku makan yang terbentuk melalui kebiasaan juga berperan besar dalam pola makan kita. Mengonsumsi makanan tertentu berulang kali, seperti cokelat atau camilan, pada kegiatan tertentu seperti menonton televisi, bisa menciptakan keinginan atau craving yang terkait dengan situasi tersebut, meskipun cadangan energi di tubuh sudah penuh. Keinginan makan ini melibatkan respons psikologis dan fisiologis, seperti keluarnya air liur yang dipicu oleh petunjuk sensorik.
Fenomena ini mirip dengan eksperimen Pavlov dengan anjing, di mana bel menjadi pemicu keluarnya air liur. Pada manusia, kondisi serupa juga terjadi, sehingga keinginan untuk mengonsumsi makanan tertentu menjadi mudah terbentuk, namun sangat sulit untuk dihilangkan. Bahkan sejumlah kecil cokelat, misalnya, bisa menumbuhkan keinginan tersebut jika dikonsumsi berulang kali dalam waktu yang singkat.
Emosi juga memengaruhi kebiasaan makan kita. Suasana hati yang negatif, seperti stres atau kelelahan, bisa melemahkan kontrol diri dan memperkuat keinginan terhadap makanan kenyamanan. Menariknya, emosi positif juga bisa menjadi pemicu jika selalu dikaitkan dengan aktivitas makan.
Lingkungan sosial semakin memperburuk kecenderungan makan berlebihan. Penelitian menunjukkan bahwa orang cenderung makan lebih banyak saat berada dalam kelompok teman, kemungkinan besar karena interaksi sosial yang mengalihkan perhatian dari pengendalian porsi makan. Fenomena ini bahkan berlaku untuk makanan biasa dalam lingkungan yang terkontrol.
Untuk membantu orang mengurangi makan berlebihan, para ahli berfokus pada "menghapus" pola makan yang sudah terbentuk. Ini melibatkan pengajaran bahwa makan berlebihan sekali waktu tidak harus menyebabkan kebiasaan berulang. Memecahkan kebiasaan baik hanya sekali sering kali bisa menyebabkan terjadinya kambuh ke kebiasaan buruk, sehingga konsistensi sangat penting.
Rasa lapar yang terjadi setelah makan besar tidak disebabkan oleh perut yang mengembang, tetapi oleh perilaku yang sudah terbentuk dan respons hormon. Acara-acara khusus sering memperkuat kebiasaan makan berlebihan. Petunjuk sensorik yang terkait dengan perayaan seperti aroma, pemandangan, dan suara menyiapkan otak untuk makan lagi keesokan harinya.
Memahami mekanisme ini bisa membantu Anda dalam mengelola perilaku makan dan memutuskan siklus makan berlebihan, sambil membangun kebiasaan yang lebih sehat. Dengan memahami bagaimana hormon dan kebiasaan belajar berperan dalam rasa lapar dan kenyang, Anda bisa membuat perubahan yang lebih baik dalam pola makan Anda.