Proses Berpikir
Sebuah studi revolusioner baru-baru ini mengungkapkan bahwa bahasa bukanlah elemen yang diperlukan untuk proses kognitif yang mendasari pemikiran manusia, berdasarkan temuan terbaru tentang bagaimana otak berfungsi. Selama bertahun-tahun, para ilmuwan dan filsuf telah memperdebatkan hubungan antara bahasa dan pemikiran, serta apakah bahasa benar-benar menjadi prasyarat untuk kognisi.
Salah satu pemikiran terkenal yang dikemukakan oleh filsuf dan matematikawan asal Inggris, Bertrand Russell, menyatakan bahwa bahasa memungkinkan pemikiran, dan tanpa bahasa, berpikir akan menjadi tidak mungkin. Namun, bukti-bukti yang ditemukan menunjukkan pandangan yang berbeda, karena beberapa hewan yang tidak memiliki bahasa tetap menunjukkan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan yang tinggi.
Evelina Fedorenko, seorang ahli saraf di McGovern Institute for Brain Research, MIT, telah menghabiskan bertahun-tahun untuk menyelidiki pertanyaan-pertanyaan ini. Selama studi sarjananya di Harvard pada awal 2000-an, hipotesis bahwa "bahasa menciptakan pemikiran" sangat berpengaruh dalam kalangan akademik. Baru-baru ini, Fedorenko menulis artikel bersama dalam Nature yang merangkum hasil penelitiannya, yang menunjukkan bahwa bahasa dan pemikiran beroperasi sebagai entitas yang terpisah di otak. Pemikiran tingkat tinggi, seperti pemecahan masalah dan penalaran sosial, dapat terjadi tanpa bergantung pada bahasa.
Bukti yang Mendukung Independensi Pemikiran dan Bahasa
Terdapat dua jalur bukti utama yang mendukung klaim bahwa bahasa dan pemikiran merupakan sistem yang terpisah. Bukti pertama berasal dari metode yang telah digunakan selama berabad-abad untuk mempelajari individu dengan gangguan tertentu, seperti cedera otak. Misalnya, para peneliti telah lama mengamati orang dengan afasia, sebuah kondisi yang mengganggu kemampuan berbahasa. Khususnya, kasus afasia global, di mana individu mengalami kerusakan parah pada belahan otak kiri, membuat mereka tidak mampu memahami atau menghasilkan bahasa.
Peneliti menemukan bahwa bahkan individu dengan defisit bahasa yang parah tetap dapat melakukan tugas kognitif. Dengan menggunakan instruksi non-verbal yang dapat disampaikan melalui isyarat atau petunjuk visual, peneliti menemukan bahwa orang dengan afasia global dapat mengerjakan tugas yang melibatkan matematika atau penalaran sosial dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pemikiran dapat terjadi tanpa bahasa.
Bukti lainnya datang dari penelitian terhadap bayi yang belum memiliki bahasa yang berkembang sepenuhnya, serta spesies non-manusia. Kedua kelompok ini menunjukkan kemampuan dalam pemecahan masalah dan penalaran, yang semakin menguatkan bahwa kognisi tidak sepenuhnya bergantung pada bahasa.
Pencitraan Otak dan Peran Area Bahasa
Teknik pencitraan otak modern yang dikembangkan pada akhir abad ke-20 memberikan wawasan lebih lanjut mengenai independensi bahasa dan pemikiran. Dengan melacak perubahan aliran darah, para ilmuwan dapat mengetahui apakah area otak yang bertanggung jawab untuk bahasa juga aktif saat melakukan tugas non-linguistik.
Sebagai contoh, para peneliti menggunakan pencitraan untuk menentukan area pemrosesan bahasa di otak, yang dikenal menyebabkan afasia jika rusak. Relawan diminta untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan bahasa untuk mengidentifikasi area tersebut, lalu diikuti dengan tugas kognitif seperti memecahkan teka-teki, tantangan memori, atau pengambilan keputusan. Studi yang dilakukan selama beberapa dekade menunjukkan secara konsisten bahwa area bahasa tetap tidak aktif saat tugas kognitif non-linguistik dilakukan.
Fungsi Bahasa Selain untuk Pemikiran
Jika bahasa tidak diperlukan untuk berpikir, apa sebenarnya fungsi dari bahasa? Bahasa memiliki peran penting dalam pembelajaran tentang dunia, sering kali melebihi informasi yang diperoleh melalui pengalaman langsung. Bahasa memfasilitasi transfer pengetahuan, memungkinkan manusia untuk bekerja sama dengan lebih efektif, berbagi wawasan tentang pembuatan alat, serta menavigasi dinamika sosial yang kompleks. Misalnya, seseorang dapat memperingatkan orang lain tentang individu yang tidak dapat dipercaya tanpa memerlukan pengamatan langsung.
Selain itu, bahasa memungkinkan pengetahuan untuk ditransfer dengan efisien dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang merupakan keuntungan evolusioner yang penting. Kemampuan untuk mentransmisikan informasi ini sangat penting untuk mempertahankan dan mengembangkan pemahaman kolektif seiring berjalannya waktu.
Interaksi Antara Sistem Bahasa dan Pemikiran
Hubungan antara sistem bahasa dan pemikiran masih menjadi area penelitian aktif. Ilmu saraf saat ini belum memiliki alat untuk sepenuhnya mengeksplorasi interaksi keduanya, namun kemajuan dalam kecerdasan buatan memberikan peluang baru. Model bahasa besar, seperti GPT-2 dan penerusnya, sangat terampil dalam menghasilkan kalimat yang gramatis dan bermakna, tetapi kesulitan dalam penalaran, yang sejalan dengan gagasan bahwa bahasa saja tidak memungkinkan pemikiran.
Fedorenko dan para peneliti lainnya sedang menjelajahi cara-cara untuk menghubungkan model bahasa AI dengan sistem pemecahan masalah simbolik, mirip dengan sistem kognitif manusia. Upaya ini bertujuan untuk mengungkapkan metode-metode bagaimana bahasa dan sistem penalaran saling berinteraksi, membuka jalan untuk pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana manusia mengintegrasikan bahasa dengan pemikiran. Pendekatan neuro-simbolik, yang menggabungkan jaringan saraf dengan penalaran simbolik, menawarkan prospek menarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kognisi manusia.
Fakta Mengejutkan: Ternyata Bahasa Tidak Harus Ada untuk Berpikir!
Penemuan ini membawa dampak besar dalam pemahaman kita tentang hubungan antara bahasa dan pemikiran. Dengan bukti yang semakin kuat, kini kita tahu bahwa pemikiran manusia jauh lebih kompleks dari sekadar bahasa. Inilah waktu yang tepat untuk merenungkan kembali bagaimana kita memandang kognisi, bukan hanya sebagai kemampuan berbahasa, tetapi juga sebagai kemampuan berpikir yang mandiri.