Konservasi Capung
Capung adalah serangga karnivora yang berperan sebagai sekutu yang bermanfaat bagi manusia dengan memangsa berbagai hama pertanian, kehutanan, dan peternakan.
Mereka memakan lalat, nyamuk, wereng, pengusir hama, serta ngengat kupu-kupu kecil.
Meskipun frekuensi pemukulan mereka relatif rendah, biasanya kurang dari 20 kali per detik, jauh lebih sedikit dibandingkan beberapa serangga seperti neowings yang dapat melebihi 100 kali per detik. Capung menunjukkan kecepatan terbang yang sangat cepat dan mampu melakukan manuver rumit seperti melayang dan berbelok tajam. Tidak seperti lalat terbang, capung menggunakan metode unik di mana keempat sayapnya bergerak secara terpisah, sehingga memungkinkan terjadinya gerakan kompleks dalam penerbangan. Selain itu, capung memiliki kemampuan menghemat energi yang mengesankan. Di antara serangga dari ordo Odonata, termasuk capung, capung kuning menonjol karena kecakapan migrasinya yang luar biasa.
Serangga ini menempuh jarak migrasi yang paling jauh, dengan capung kuning yang mampu terbang satu arah dari Afrika Selatan ke Asia utara, melintasi hamparan luas Samudera Hindia dengan mudah. Sering diamati dalam kawanan di medan terbuka, capung ini menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi spesiesnya. Capung memiliki indra yang sangat berkembang yang melengkapi kemampuan terbangnya yang luar biasa. Dengan penglihatan terbaik di antara serangga, capung menunjukkan penglihatan dan resolusi dinamis yang luar biasa, terutama digunakan untuk berburu mangsa kecil.
Kemampuan mereka yang tajam dalam memprediksi jalur terbang mangsa dan mencegatnya berkontribusi pada tingkat keberhasilan berburu yang tinggi, bahkan ketika mengejar target yang cepat dan lincah seperti lalat. Namun, terlepas dari kehebatan predatornya, capung memiliki keterbatasan pada bagian mulutnya, yang tidak cocok untuk berburu mangsa yang lebih besar, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk menyuntikkan racun. Selain itu, lambatnya perkembangan capung dan kebutuhan khusus mereka terhadap kualitas air juga menimbulkan tantangan.
Meskipun beberapa spesies, seperti capung kuning, dapat berkembang dengan cepat dan beradaptasi dengan berbagai kondisi air, kesehatan populasi capung secara keseluruhan sangat erat kaitannya dengan kualitas habitat perairan mereka. Penilaian baru-baru ini yang dilakukan oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) telah meningkatkan kekhawatiran mengenai status konservasi spesies capung global. Daftar Merah spesies yang terancam punah menyoroti penurunan populasi capung di seluruh dunia, dan menghubungkan tren ini dengan rusaknya lahan basah, yang merupakan tempat berkembang biak utama mereka.
Hilangnya rawa-rawa, rawa-rawa berkayu, dan sungai-sungai yang mengalir bebas akibat ekspansi pertanian dan urbanisasi yang tidak berkelanjutan telah menyebabkan degradasi dan fragmentasi habitat, mengancam kelangsungan hidup capung dan spesies lain yang bergantung pada lahan basah. Berdasarkan penilaian terakhir, jumlah spesies yang terancam punah dalam Daftar Merah untuk pertama kalinya telah melampaui 40.000, dengan total 142.577 spesies terdaftar, 40.084 di antaranya diklasifikasikan sebagai terancam punah. Dr. Bruno Oberle, Direktur Jenderal IUCN, menekankan kebutuhan mendesak untuk melindungi ekosistem lahan basah, yang terancam punah secara global.
Meskipun dianggap tandus dan tidak dapat dihuni oleh manusia, lahan basah menyediakan layanan penting seperti penyimpanan karbon, penyaringan air, perlindungan terhadap banjir, dan habitat bagi banyak spesies, sehingga menegaskan pentingnya nilai ekologis dari lahan basah tersebut. Mengatasi penurunan populasi capung memerlukan upaya bersama untuk melestarikan dan memulihkan habitat lahan basah, sehingga menjaga kekayaan keanekaragaman hayati yang didukungnya. Sebagai indikator utama kesehatan lahan basah, capung berperan sebagai penentu kesejahteraan habitat air tawar secara keseluruhan.
Berkurangnya jumlah lahan basah tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati namun juga membahayakan jasa ekosistem penting yang disediakan oleh lahan basah, termasuk pemurnian air, siklus nutrisi, dan pengaturan banjir. Tindakan mendesak diperlukan untuk mengatasi akar penyebab degradasi lahan basah, termasuk praktik penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan dan perusakan habitat.